Pukul Sapu Mamala / Pukul
Manyapu Mamala atau yang biasa disebut upacara ritual ukuwala mahiate
dilaksanakan setiap tahun tepatnva pada tanggal 8 Syawal di negeri Mamala,
setelah mereka melaksanakan puasa Ramadhan dan dilanjutkan dengan puasa sunnah
Syawal. Upacara ritual ini dilatarbelakangi oleh adanya pembanguan Masjid di
negeri Mamala. Oleh karena itu, keberadaan Masjid inilah yang melahirkan adanya
Pukul Sapu Mamala / upacara ukuwala mahiate. Dalam pelaksanaan upacara ini
terdapat makna-makna simbol yang diuraikan di atas yakni Mesjid, nyuwelain
matehu (Minyak Mamala). dan Pukul Sapu / ukuwala mahiate tidak bisa dipisahkan atau merupakan satu
rangkain yang utuh dalam pelaksanaan upacara ritual ini.
Latar Belakang
Sekitar pertengahan abad ke-
XVI negeri Mamala diperintah dan dipimpin oleh tiga orang tokoh yakni:
1. Latu Liu sebagai pimpinan pemerintahan
adat Negeri Mamala
2. Patti Tiang Bessy / Patti
Tembessi (Tukang Besar yang memimpin pembangunan mesjid)
3. Imam Tuny (Imam Mesjid)
Ketiga orang tersebut kemudian
bermufakat mendirikan masjid. Semua persiapan mulai diadakan berupa
pengumpulan bahan-bahan bangunan khususnya kayu dengan mengerahkan rakyat untuk
menebang kayu di lereng-lereng gunung dan perbukitan disekitar Mamala.
Selanjutnya kayu diangkut atau dipikul bersama-sama ke lokasi masjid. Salah
satu diantara kayu jatuh dari pikulan dan patah menjadi dua, kayu yang patah
ini panjangnya 20 meter. Waktu itu kebutuhan kayu untuk pembangunan masjid berukuran
panjang dan harus dalam keadaan utuh atau tidak boleh sambung. Hal ini yang
membuat ketiga pemimpin di atas dan masyarakat negeri Mamala mencari solusi
yang tepat untuk menyambungkan kayu, sebab dalam kebutuhan pembanguan Masjid
diperlukan balok kayu yang panjang dan tidak boleh disambung. Berbagai cara dan
upaya yang dilakukan oleh masyarakat negeri Mamala belum juga menunujukkan
hasil yang diharapkan baik dalam bentuk usaha fisik maupun dalam bentuk berdoa
kepada Allah Swt untuk memohon petunjuk-Nya. Keesokan harinya ilham yang
diperolah Imam Tuny segera dilaporkan kepada Latu Liu dan Patti Tiang Besy dan
menampakkan kegembiraannya. Dan ketiga pemimpin tersebut bermufakat untuk
mempraktekannya dan ternyata memberikan hasil yang sangat menggembirakan yakni
dengan utuhnya / tersambung kembali balok kayu yang patah tersebut.
Mesjid Al Muhibbin pada tahun 1980 |
Berdasarkan hal tersebut, maka
ketiga pemimpin mereka berpendapat bahwa kalau terhadap kayu yang patah minyak
yang telah dibacakan ayat-ayat suci al-Qur’an dapat berkhasiat maka kepada
manusiapun akan bermanfaat. Musyawarah dilakukan dan musyawarah dicapai, yaitu
dengan ditetapkannya tanggal dilakukan percobaan terhadap manusia dengan
menggunakan lidi aren. Lidi aren menurut kepercayaan masyarakat merupakan
senjata yang bertuah. Cara yang dilakukan adalah dengan membentuk kelompok
kemudian selain memukul. Pada luka-luka yang ditimbulkan oleh pukulan lidi aren
kemudian dioleskan minyak yang telah dibacakan ayat-ayat suci al-Qur’an.
Beberapa saat kemudian ternyata luka-luka tersebut mengering dan sembuh.
Acara Pukul Sapu Mamala / Pukul Manyapu Mamala tahun 1980 |
Dari sinilah atas musyawarah
bersama masyarakat negeri. Mamala maka ditetapkan pada tahun 1545 M.,
digelarkan acara Pukul Sapu Mamala / Pukul Manyapu Mamala / ukuwala mahiate
yang pertama kali sebagai percobaan terhadap manusia dengan menggunakan ukuwala
atau lidi aren yang dijadikan sebagai senjata dalam tarian adat ukuwala mahiate.
Pukul Sapu
Mamala Sebagai Budaya Unik Maluku
Upacara ritual ukuwala
mahiate/ pukul sapu yang mengandung nilai-nilai budaya yang sangat tinggi
merupakan upacara adat negeri Mamala yang sangat terkenal sehingga mampu
menarik perhatian masyarakat dan para wisatawan baik domestik maupun
mancanegara. Pementasannya tidak hanya ditujukan untuk disaksikan oleh
masyarakat setempat tetapi terbuka bagi semua komunitas tanpa membedakan suku,
agama, ras maupun golongan. Kata ukuwala terambil dan bahasa negeri Mamala yang
artinya sapu lidi sedangkan Mahiate artinya baku pukul. Jadi arti dari ukuwala
mahiate adalah baku pukul manyapu.
Dalam tataran rana budaya
lokal Islam di Ambon terjadi konfigurasi antar agama dan budaya yang melahirkan
Upacara Ritual Ukuwala Mahiat (Acara Pukul Sapu), Sebagai sebuah kearifan lokal
(local wisdom) dari masyarakat negeri Mamala terutama para pemimpinnya yakni
Imam Tuny, Latu Liu, dan Patty Tiang Bessy (Patty Tembessy). Peranan Imam Tuny
sebagai seorang tokoh agama dan ulama yang menyelesaikan persoalan kehidupan
sosial keagamaan dengan jalan mistisisme Islam. Dan dengan kesabaran dan
kekuatan spritualitasnya, ia dapat membuka tabir antara makhluk dan Sang Khalik
untuk memohon dan berdoa kepada-Nya. Sebuah pengalaman keagamaan ( religious
experience) oleh Imam Tuny menghadirkan nilai-nilai Ketuhanan (teosentris)
dalam mewarnai Upacara Ritual Ukuwala Mahiate (Acara Pukul Sapu). Dengan
demikian, maka nilai-nilai ketuhanan (teosentris) dapat dibumikan dalam
budaya-budaya Islam (antroposentris). Kehidupan masyarakat Islam sudah
terintegrasi dengan kultural lokal dan praktek keagamaan yang masih ditemukan
di dunia Islam hingga kini. Kehidupan keagamaan ini juga ditemukan di
daerah-daerah Islam di Timur Tengah dan daerah-daerah Islam di Indonesia.
Menurut Koentjaraningrat,
religi memang merupakan bagian dari kebudayaan (menghindari istilah agama dan
memakai istilah religi yang lebih netral) dan juga ada yang mengatakan bahwa
agama adalah semua sistem religi. Koentjaraningrat sepaham dengan Emile Durkeim
mengenai dasar-dasar religi yang dituangkan dalam bukunya Les Formes Elementaires De la Vie Religieu se (1912). Menurut
Koentjaraningrat, tiap religi merupakan suatu sistem yang terdiri dari empat
komponen, yaitu: 1. Emosi keagamaan, yang menyebabkan manusia itu
bersikap religius. 2. Sistem keyakinan, yang mengandung segala keyakinan
serta bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud alam gaib
(supernatural) serta segala nilai, norma dan ajaran dari religi yang
bersangkutan. 3. Sistem ritus dan upacara yang merupakan usaha manusia
untuk mencari hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa atau makhluk-makhluk halus yang
mendiami alam gaib. 4. Umat atau kesatuan sosial yang menganut sistem
keyakinan tersebut dan melaksanakan sistem ritus dan upacara.
Goody mendefinisikan ritual
sebagai suatu katagori adat perilaku yang dibakukan, dimana hubungan antara
sarana-sarana dengan tujuan tidak bersifat intrinsik, dengan kata lain,
sifatnya entah irasional atau nonrasional. Ritual dapat dibedakan menjadi empat
macam yaitu : 1. Tindakan Magi, yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan
yang bekerja karena daya-daya mistik, 2.
Tindakan religius, kultus para leluhur, juga bekerja dengan cara ini,
3. Ritual konstitutif, yang mengungkapkan atau mengubah
hubungan sosial dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistis, dengan cara
ini upacara kehidupan menjadi ikhlas,
4. Ritual faktitif, yang meningkatkan produktivitas
atau kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan, atau dengan cara lain
meningkatkan kesejahteraan materi kelompok.
Dari teori Goody di atas, maka
Acara Pukul Sapu Mamala / Pukul Manyapu Mamala / ukuwala mahiate dapat
dikatagorikan pada jenis ritual; tindakan magi, tindakan religius, dan ritual
konstitutif. Pada ritual tindakan magi digunakan bahan-bahan di antaranya yakni
sapu lidi (ukuwala) dan minyak Mamala / minyak kelapa (nyuwalai). Pada ritual
tindakan religius, upacara ini dihubungkan dengan ibadah puasa Ramadhan dan
puasa Syawal, dan masjid dijadikan sebagai sesuatu yang melahirkan ritual ini,
serta kultus-kultus leluhur yang disajikan dalam proses ritual ukuwala mahiate.
Pada tataran ritual konstitutif ini, ditemukan hal-hal yang gaib, ketika Imam
Tuny bermunajah dan berdo'a kepada Allah Swt untuk mendapat pertolongan untuk
menyambung tiang masjid yang patah atau retak tersebut. Maka dengan kebesaran
Allah Swt lewat minyak Mamala / nyuwelai matehu / minyak tasalah dengan kekuatan
mistiknya maka kayu tersebut tersambung kembali.
Pentas Pukul Sapu / Pukul
Manyapu Mamala di Festival Keraton dan Masyarakat Adat ASEAN di Lombok tahun
2015
|
Kebudayaan Pukul Sapu / Pukul Manyapu Mamala (Ukuwala Mahiat) telah terkenal luas di Indonesia bahkan di dunia Internasional. Dalam upacara ukuwala mahiat / pukul sapu terdapat makna-makna kearifan budaya lokal yang terlahir dari interpretasi konteks sejarah keagamaan yang dialami oleh komunitas masyarakat negeri Mamala untuk dipentaskan dalam sebuah tradisi adat yang sangat kuat yang diwariskan dari budaya leluhur mereka dan diteruskan untuk generasi berikutnya sampai sekarang Masyarakat negeri Mamala di Kecamatan Leihitu (pulau Ambon) Kabupaten Maluku Tengah mempunyai budaya atau ritual adat berupa upacara ritual ukuwala mahiate. Upacara ritual ini dilaksanakan setiap tahun sebagai bagian dari kegiatan keagamaan. Upacara ritual ini lebih dikenal oleh masyarakat kota Ambon dengan Pukul Sapu / Pukul Manyapu Mamala.